Social Icons

Pages

Jumat, 07 Juni 2013

Empat Langkah Implementasi Target Costing (Capai Target Margin)


Diantara banyaknya macam metode costing yang lumrah di implementasikan, terutama di lingkungan manufaktur, yang paling bagus sekaligus paling menantang—menurut saya pribadi—adalah target costing. Saya katakan bagus karena, disamping bisa menjamin profitabilitas juga sangat cocok diterapkan dalam era persaiangan bisnis yang ketat seperti saat ini. Hanya saja, menerapkan target costing bukan perkara mudah.
Melalui tulisan sederhana ini saya ingin memperkenalkan target costing—beserta empat langkah yang harus dilalui untuk mengimplementasikan target costing. Namun sebelum itu, ada baiknya jika kita lihat perbandingan target costing dengan 2 metode costing lainnya, yang selama ini sudah cukup populer, yaitu: Standard Costing dan Activity Based Costing (ABC) system.
Lebih dalam mengenai implementasi target costing di lingkungan manufaktur, saya juga akan bahas sedikit mengenai penggunaan konsep “Value Engineering” untuk mensukseskan target cost dan target margin dalam target costing; apa itu itu value engineering? Apa pernannya dalam target costing? Dan apa wujud konkretnya dalam tataran implementasi. Ini penting, agar pembaca memperoleh gamabaran yang lebih jelas mengenai implementasi target costing secara keseluruhan.


Standard Costing dan ABC System (Sebagai Pembanding)

Di luar target costing, ada 2 metode costing yang menurut saya pribadi cukup bagus untuk diimplementasikan, namun tidak bisa berdiri sendiri, yaitu: standard costing dan ABC system.
1. Standard Costing – Seperti namanya, implementasi standard costing di mulai dengan menentukan standard tertentu pada masing-masing komponen cost, misal:
  • Harga raw material (Misal: Rp 20,000/Kg)
  • Jumlah raw material digunakan (Misal: 0.5 kg per satu unit produk)
  • Labor cost (misal: Rp 5000 per satu unit produk)
  • Manufacturing overhead (misal: Rp 9000 per satu unit produk)
  • Dst…
Setelah barang selesai diproduksi, selanjutnya masing-masing komponen cost dibandingkan antara fakta yang terjadi dengan standard-nya. Bila terjadi perbedaan, selisihnya disebut “variance”. Di akhir periode manajemen perusahaan bisa mengevalasi berapa variance atas harga raw material misalnya, berapa variance atas jumlah rawa material yang digunakan, berapa variance atas labor cost, dan seterusnya.
Sehingga, keunggulan utama dari standard costing adalah: bisa dijadikan alat takar kinerja yang handal. Dari variance-variance yang terjadi, management dapat melihat di wilayah mana efisiensi bisa terjadi dan di wilayah mana pemborosan terjadi di sisi lainnya. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, manajemen perusahaan bisa menentukan strategi yang lebih tepat untuk diterapkan di periode berikutnya.
2. Activity Based Costing (ABC) system – Salah satu kelemahan standard costing dan metode-metode lainnya adalah: sulitnya mengendalikan manufacturing overhead. Overhead adalah komponen manufacturing cost yang porsinya cukup besar setelah bahan baku (raw material) dan upah buruh (labor cost).
Sudah menjadi fenomena yang lumrah—terutama di perusahaan-perusahaan manufaktur—bahwa: kelompok manufacturing overhead sering menjadi ‘sarang’ aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah (value-added) bagi produk yang dihasilkan. Itu sebabnya wilayah ini membutuhkan pengawasan yang ekstra ketat dari pihak manajemen—terutama accounting dan finance.
Sayangnya, secara natural manufacturing overhead sulit ditelusuri—dalam artian, tidak bisa dihubungkan dengan aktivitas produksi tertentu, sehingga cenderung tidak terkendali. Kendala inilah yang coba diatasi oleh ABC system.
Dengan mengimplementasikan Activity Based Costing, secara konseptual manajemen bisa menghubungkan setiap overhead yang timbul dengan aktivitas tertentu di wilayah produksi—sehingga bisa menentukan aktivitas mana yang perlu dan tidak perlu terjadi. Jika dikombinasikan dengan Lean System, ABC system dapat dijadikan alat telusur yang ampuh untuk menemukan aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah (non-value added activities) bagi produk yang dihasilkan, sehingga bisa diminimalisir di periode-periode berikutnya.
Kedua metode costing ini termasuk cukup sering saya rekomendasikan ke perusahaan-perusahaan. Namun demikian, seperti sudah pernah disinggung di tulisan lain, saya tidak penah berpaku pada satu metode costing—karena masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Pertanyaannya: Apa kelebihan target costing jika dibandingkan dengan standard costing, ABC system dan metode costing lainnya?
Yuk kita pindak ke paragraph berikutnya…

Apa Itu Target Costing?

Baik dalam standard costing maupun ABC system (termasuk metode-metode costing lainnya), cost accountant menghimpun informasi (baca: data) cost setelah produksi berlangsung. Dengan kata lain; menggunakan data histories—berarti juga: cost sudah terjadi baru dianalisa—untuk kemudian dijadikan masukan dalam penentuan strategi di periode berikutnya.
Itu bukan kondisi yang ideal. Mengapa?
  • Dengan standard costing, misalnya: IYA, manajemen bisa membandingkan antara kenyataan cost yang timbul dengan standard yang ditentukan sebelumnya—lalu menemukan variance (dimana efisiensi dan pemborosan terjadi)—TETAPI tetap saja tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah variance tersebut, karena sudah terjadi. Tetap saja variance tersebut menjadi kerugian di periode tersebut—sehingga profit yang maksimal idak bisa dijamin.
  • Dengan ABC system (plus Lean System), misalnya: IYA, non-value added activities di wilayah overhead bisa diidentifikasi secara akurat, TETAPI tetap saja tidak bisa mencegah aktivitas-aktivitas tersebut, karena sudah terlanjur terjadi. Sami mawon, podo wae, sama saja, sebelas-duabelas.
  • Apalagi direct costing yang semuanya berjalan tanpa kendali, sudah pasti manajemen tidak bisa berbuat banyak dalam memaksimalkan profitabilitas perusahaan.
Ketidakmampuan mencegah pembengkakan cost (sehingga tidak bisa memaksimalkan profit) adalah kelemahan paling fundamental dalam sistim penentuan cost (metode costing). Kelemahan mendasar inilah yang bisa dijawab oleh target costing.
Singkatnya (dan sederhananya):
Target costing adalah sistim penentuan cost yang diimplementasikan dengan cara mematok cost tertentu—sekaligus margin tertentu—sebelum barang dibuat, bahkan sebelum dirancang.
Note: Cost yang ditentukan di awal ini disebut dengan “target cost”. Sedangkan margin yang diharapkan disebut “target margin”.
Misalnya:
PT. JAK produsen ponsel yang fokus untuk memproduksi dan menjual ponsel high-end. Manajemen PT. JAK sadar betul; mereka harus mampu menghasilkan ponsel yang bisa bersaing di era persaingan ketat seperti saat ini. Untuk itu CFO PT. JAK memutuskan untuk menerapkan target costing.
Untuk satu tahun ke depan, PT. JAK berencana untuk membuat 1 model ponsel baru yang diharapkan bisa bersaing di kelasnya. Setelah melalui proses perhitungan, PT. JAK mematok harga Rp 2,250,000/unit dengan target cost Rp 750,000/unit.
Selanjutnya semua bagian di PT. JAK harus mematuhi target cost Rp 750,000/unit tersebut, sehingga setelah barang selesai diproduksi cost yang timbul tidak lebih dari Rp 750,000/unit, bagaimanapun caranya—sehingga bisa menjamin tingkat profitabilitas yang mereka harapkan bisa tercapai.
Pertanyaannya:
  • Darimana PT. JAK tahu harga jual ponsel mereka adalah Rp 2,250,000/unit?
  • Darimana PT. JAK tahu kalau cost pembuatan ponsel baru mereka adalah Rp 750,000/unit?
  • Bagaimana caranya PT. JAK bisa memastikan cost produksi ponsel mereka tidak lebih dari Rp 750,000/unit?
Kita pindah ke paragraph berikutnya….

Empat Langkah Utama Implementasi Target Costing

Menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, berikut adalah empat langkah utama untuk menerapkan target costing—yang dipimpin oleh seorang cost accountant:
Langkah-1. Riset Pasar – Dalam metode costing lain, proses berjalan sbb: merancang produk/bikin produk ===> costing ==> jual barang pada harga jual tertentu. Target costing mengalir kea rah sebaliknya. Yang pertama dilakukan justru menentukan harga jual. Untuk mengetahui harga jual, bagian riset dan pengembangan (research & development), dikomendoi oleh seorang cost accountant, perlu melakukan riset pasar—sebelum merancang suatu produk—untuk menentukan berapa harga jual yang bisa memberikan profit yang diharapkan tetapi bisa bersaing di pasaran.
Contoh: Melanjutkan contoh kasus PT. JAK sebelumnya. Sebelum melakukan perancangan ponsel yang akan dibuat, bagian research and development bersama-sama dengan cost accountant-nya PT. JAK perlu melakukan riset pasar untuk mengetahui fitur ponsel seperti apa yang diharapkan oleh calon pembeli (baca: pasar) untuk kelas high-end, berapa harga jual yang tepat agar nantinya ponsel tersebut bisa bersaing di kelasnya.
Ada 2 macam riset yang harus dilakukan, yaitu:
  • Riset Konsumen (Customer research); dan
  • Riset Pesaing (Competitor research)
Setelah kedua riset itu dilakukan, manajemen perusahaan diharapkan bisa mengetahui 2 informasi utama berikut ini:
  • Permintaan pasar (customer’s requirements)
  • Fitur Produk (product’s features)
Permintaan pasar yang dimaksudkan di sini adalah jenis/model barang yang kemungkinan besar dibeli oleh customer beserta harga yang diharapkan. Dalam contoh kasus PT. JAK tadi, melalui riset team menemukan bahwa untuk ponsel high-end customer bersedia membeli pada harga Rp 2,250,000/unit.
Sedangkan fitur produk adalah fungsi dan dayaguna produk (untuk ponsel misalnya: apakah memakai camera 8 megapixel atau 5 megapixel, apakah touchscreen atau qwerty keypad, apakah ada aplikasi kerja atau tidak, ada pushmail atau tidak, dan lain sebagainya).
Khususnya di ‘fitur produk’, team harus bisa mengelaborasikan riset sedemikian rupa, sehingga mereka tidak sekedar tahu fitur apa saja yang diharapkan oleh calon pembeli, tetapi juga tahu ‘nilai yang bisa diterima’ (perceive value) dari masing-masing fitur. Dengan demikian maka nantinya mereka bisa melakukan perubahan-perubahan tertentu (mengurangi, menambahkan, mengganti, mengkombinasikan, mengubah) pada fitur tertentu jika diperlukan, guna mencapai target margin dan cost yang diharapkan.
Langkah-2. Menentukan Cost dan Margin Yang Paling Memungkinkan – Anak-anak MBA menyebut ini dengan istilah  “Margin and Cost Feasibility”. Di langkah kedua ini, cost accountant mengurangkan harga jual (Rp 2,250,000/unit pada contoh kasus PT JAK) dengan target margin yang diharapkan (Rp 1,500,000/unit dalam contoh kasus di atas). Sehingga sampai pada perhitungan target cost atas produk yang akan dibuat (dan dijual), yaitu: Harga Jual – Target Margin = Rp 2,250,000 – 1,500,000 = Rp 750,000.
Note:
Pada prakteknya, untuk tiba pada titik target margin dan target cost yang paling ideal, bukan sesuatu yang mudah dicapai. Hambatan yang paling utama adalah sulitnya mencapai target cost yang di satu sisinya tidak membuat harga jual meningkat dan di sisi lainnya sungguh-sungguh bisa diwujudkan dalam proses produksi masal nantinya. Tentunya perusahaan tidak ingin setelah produksi berjalan, ternyata target cost tidak bisa dicapai karena memang sungguh-sungguh tidak memungkinkan.
Lagipula, bisa saja manajemen (terpaksa harus) memutuskan untuk menjual barangnya jauh dibawah harga jual hasil riset—untuk tujuan tertentu: untuk fenetrasi pasar misalnya, yang penting produk bisa diterima oleh pasar dahulu.
Perubahan-perubahan strategi ini, harus tercermin dalam penentuan target margin dan target cost. Dalam keputusan menurunkan harga misalnya, manajemen harus memilih apakah akan: ‘menurunkan-target-margin-dengan-tetap-mempertahankan-target-cost’ ATAU ‘mempertahankan-target-margin-dengan-menurunkan-target-cost’. Keputusan-keputusan ini memerlukan proses tertentu yang disebut dengan “Value Engineering” di langkah-3 berikut (saya juga akan bahas secara mengkhusus, sebentar lagi).
Langkah-3. Mencapai Target Margin dan Target CostSeperti telah disampaikan di atas, hingga langkah-2, cost accountant dan para engineer besar kemungkinanya belum bisa menghasilkan rancangan produk yang bisa mencapai titik target margin dan target cost yang ideal. Dalam banyak kasus, rancangan produk yang dihasilkan (sampai di langkah-2) masih menimbulkan cost yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan target cost. Artinya, besar kemungkinan target cost (dan target margin) tidak akan tercapai, bila proses produksi sudah benar-benar berjalan nantinya.
Di langkah ketiga inilah team mengelaborasikan kembali hasil riset dan perhitungan target cost dan target margin yang sudah mereka lakukan di langkah-1 dan 2. Untuk maksud tersebut mereka bisa mengaplikasikan suatu konsep yang disebut dengan “value engineering” (yang akan saya bahas secara khusus, sebentar lagi).
Tujuan utama dari value engineering adalah melakukan berbagai upaya rekayasa kembali (pada rancangan produk) untuk menurunkan cost—sehingga bisa menghasilkan produk yang nantinya menelan cost tidak lebih besar dari target cost.
Konkretnya, di langkah-3 ini, team perlu:
  • Membuat rancangan produk yang manufacturing costnya lebih rendah;
  • Mengeliminasi aktivitas-aktivitas yang dianggap tidak memberi nilai tambah pada produk yang akan dihasilkan;
  • Membuat rencangan produksi masal yang durasinya lebih pendek;
  • Mencari sumber bahan baku dan bahan penolong yang harganya lebih murah;
  • Mencari komponen atau sparepart alternative yang harganya lebih
  • Mengubah/mengganti/mengurangi fitur produk yang akan dihasilkan (bila terpaksa);
  • Dan lain sebagainya.
Proses ini juga perlu disertai dengan konfirmasi (misalnya berupa quotation kalau perlu kontrak) dari pihak supplier, sub-contractor (outsource)—termasuk pegawai dalam—yang akan terlibat dalam proses produksi nantinya, untuk memperoleh kepastian cost (agar tidak ada perubahan lagi di tengah jalan).
Proses di langkah-3 ini mungkin memakan waktu berminggu-minggu bahkan mungkin berbulan-bulan. Tantangan yang tak kalah beratnya adalah mengejar capaian target cost sebelum waktu untuk melakukan proses rekayasa berakhir.
Pertanyaan: Bagaimana jika sampai diakhir batas waktu team belum berhasil mencapai target cost yang telah ditetapkan?
Ada 4 kemungkinan:
  • Kemungkinan pertama: target cost dinaikan, target margin tetap, harga jual dinaikan; atau
  • Kemungkinan kedua: target cost dinaikan, target margin diturunkan, harga jual dipertahankan.
  • Kemungkinan ketiga: kombinasi pertama dengan kedua
  • Kemungkinan keempat: rencana dibatalkan
Bagaimanapun juga, perusahaan sudah terlanjur menghabiskan waktu dan sumberdaya untuk menjalankan langkah-1 hingga langkah-3, sehingga kemungkinan untuk membatalkan rencana (proyek), biasanya sangat kecil. Adakalanya perusahaan berani meneruskan rencana mereka meskipun target cost yang berhasil dicapai melalui value engineering baru 80% (belum mencapai titik ideal). Tentunya dengan berbagai pertimbangan, terutama sekali kemungkinan speed produksi yang masih bisa digenjot—seiring dengan keterbiasaan para pekerja dalam mengerjakan barang yang baru mereka produksi (bahasa jawanya ‘kulino’), dan berbagai kemungkinan bagian yang masih bisa diefisienkan dalam proses produksi masal nantinya.
Note: Mulai dari langkah-1 hingga 3 ini, proses masih berjalan di wilayah research & development (R&D) dengan panduan ketat dari cost accountant (accounting), belum masuk ke wilayah produksi.
Saat keputusan untuk meneruskan rencana telah diambil (entah karena sudah mencapai target margin dan target cost ATAU baru mencapai 80%), maka proses sudah berpindah ke wilayah produksi. Di wilayah produksilah kekurangan 20% dari target margin dan target cost akan dikejar lagi, sehingga target cost dan target margin nantinya benar-benar tercapai hingga 100%. Kita lanjut ke langkah-4….
Langkah-4. Implementasi Perbaikan Yang Berkesinambungan - Terlepas apakah target margin dan target cost sudah tercapai di proses perancangan produk atau belum, perbaikan yang berkesinambungan disepanjang alur proses produksi masal tetap diperlukan.
Jika target margin dan target cost belum tercapai (dalam proses perancangan produk), maka di proses produksi masal inilah harus dikejar. Bagian produksi harus berupaya semaksimal mungkin untuk mencapai target margin dan target cost yang diharapkan, melalui perbaikan yang berkesinambungan di sepanjang proses.
Dalam situasi seperti ini, cost accountant melakukan pemantuan ketat terhadap proses produksi—terutama terhadap cost yang timbul (mulai dari pemesanan bahan baku, proses pengerjaan barang, finishing, hingga proses packaging.) Cost accountant perlu memberi panduan, saran dan masukan kepada production dept agar mereka bisa mencapai target cost yang ditetapkan.
Teknik manufaktur yang dikenal ampuh untuk melakukan perbaikan (sekaligus penurunan cost) secara berkesinambungan saat ini, adalah ‘Keizen’ dan ‘Lean System
Keizen misalnya, melakukan perbaikan berkesinambungan dengan tahapan sebagai berikut:
Improvement Planning —-> Implementasi —-> Improvement Evaluation
Hasil evaluasi dijadikan improvement planning berikutnya, lalu diimplementasikan, akhirnya dievaluasi lagi—tentunya hasil evaluasi ini diharapkan jauh lebih baik dibandingkan hasil sebelumnya. Demikian terus berputar, hingga target yang diharapkan tercapai. Capian target margin dan target cost juga bisa dicapai dengan mengadopsi prinsip yang sama (continuous improvement).
Lean system, sedikit berbeda. System ini khusus berfokus pada usaha-usaha untuk meminimalisir aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah pada poduk yang dihasilkan. Dengan lean system, perusahaan dapat menekan cost tanpa mengorbankan kualitas produk yang dihasilkan (karena yang dihilangkan hanya aktivitas-aktivitas yang tidak memberi nilai tambah).
Kombinasi Keizen dan Lean System, menurut pengalaman saya, bisa menekan cost minimal hingga 20%–dalam perusahaan manufaktur yang tergolong sudah cukup efisien. Pada perusahaan manufaktur yang tergolong masih jauh dari kategori efisien, saya yakin, bisa menekan cost hingga 50%. Itu sebabnya, untuk capaian target margin dan target cost yang belum mencapai 100% di proses perancangan, sangat saya rekomendasikan untuk mengadopsi Keizen dan Lean System. Tanpa itu, continuous improvement akan sulit dicapai.
Secara keseluruhan, jika target costing bisa diimplementasikan dengan baik, hampir bisa dipastikan; profitabilitas yang diharapkan oleh perusahaan bisa dicapai dengan tingkat kesuksesan yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan metode lain. Dengan target costing, perusahaan hanya akan memproduksi barang yang sudah pasti ada peminatnya, harga yang disesuaikan dengan kesediaan konsumen membayar, dan dengan profit margin yang nyaris pasti. Terlebih-lebih jika diterapkan bersamaan dengan implementasi Keizen dan Lean System, sudah pasti tingkat profitabilitas yang diharapkan bisa tercapai.
Tentu. Menerapkan target costing bukan perkara mudah—membutuhkan skill yang cukup, keseriusan, komitmen dan sumberdaya yang relative lebih besar jika dibandingkan dengan metode lain. Begitu juga dengan continuous improvement (melalui Keizen dan Lean System), bukan sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
Seperti sudah saya janjikan di awal tulisan, saya akan masuk sedikit lebih dalam ke konsep “value engineering”, sehingga pembaca memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenai implementasi target costing (tidak sekedar teori-teori belaka).

Implementasi Value Engineering Untuk Mensukseskan Target Costing
Topik ini sesungguhnya sudah mengarah ke manajemen terapan (bukan akuntansi manajemen lagi). Ya, bisa dibilang ini topik-topiknya anak MBA (bukan orang akuntansi murni—yang biasanya lebih sering berkutat diseputaran laporan keuangan, audit dan pajak.) TETAPI, sangat penting untuk diketahui oleh mereka yang ingin tahu tentang target costing hingga ke tataran implementasi, termasuk para akuntan.
Di JAK, kita tidak hanya belajar tentang akuntansi keuangan, standar akuntansi dan pajak, tetapi juga belajar tentang akuntansi manajemen—tentu saja termasuk akuntansi biaya. Tidak hanya sebatas mengetahui konsep dan teorinya, tetapi mencoba memahami konsep dalam tataran pelaksanaan.
Yang tidak tertarik, silahkan berhenti sampai di sini. Yang tertarik, yuk kita masuk ke esensi dari value engineering… (mudah-mudahan ada manfaatnya).
Aslinya, value engineering adalah metode (yang digunakan oleh para engineer perancang/designer) untuk meningkatkan value suatu produk, dengan mengilangkan fitur-fitur (dan aktivitas-aktivitas produksi terkait) yang tidak memberi nlai tambah. Nah, di sisi lainnya, para cost accountant sesungguhnya bisa menggunakan (baca: mendompleng) metode ini untuk usaha-usaha mengejar target penurunan cost.
So, menurut versi cost accountant:
Value engineering adalah serangkaian cara untuk menekan cost—selama proses perancangan/engineering dan sampling suatu produk—sehingga bisa menghasilkan produk yang nantinya bisa diproduksi dengan cost yang sungguh-sungguh paling efektif.
Rangkaian cara tersebut (tentunya berbeda dengan value engineering aslinya), saya kemas dalam bentuk pertanyaan-petanyaan sebagai berikut:
  • Adakah suatu proses (atau langkah tertentu) yang bisa dikurangi atau dihilangkan samasekali? – Langkah ini memerlukan review semua aktivitas produksi dalam semua tahapan, untuk melihat apakah ada langkah (misalnya pemeriksaan kualitas di tengah-tengan proses yang sedang berjalan) yang tidak menghasilkan nilai tambah pada produk. Jika ada, dengan menghilangkan langkah ini otomatis biaya langsung yang terkait atau overhead yang berhubungan dengan langkah ini, tidak terjadi.
  • Apakah kekuatan atau daya tahan bisa dikurangi? – Adakalanya suatu produk dirancang sedemikian kokoh dan kuat, melebihi kewajaran. Misalnya: membuat produk ponsel yang tahan jatuh adalah bagus, tetapi mungkin tidak perlu membuat ponsel yang bisa tahan jatuh dari atas gedung berlantai 25—sebab kemungkinan ponsel jatuh dari lantai ke-25 mencapai lantai dasar adalah nyaris tidak mungkin. Sehingga tidak perlu menggunakan material setebal 2 inch, cukup hanya 0.25 cm misalnya. Sebelum memutuskan untuk melakukan pengurangan, tentunya perlu melakukan ujicoba-ujicoba yang cukup dan layak, sehingga tidak sampai di bawah standar kualitas yang seharusnya.
  • Apakah ada aspek desain produk yang bisa lebih disederhanakan? – Cara ini dimaksudkan untuk merancang produk yang menggunakan jumlah sparepart yang lebih kecil atau raw material yang lebih sedikit. Hal ini didasari oleh asumsi bahwa, desain yang lebih sederhana membutuhkan proses perakitan (assembling) yang lebih mudah, lebih cepat, sekaligus dengan raw material dan sparepart yang lebih sedikit. Disamping itu, dengan lebih sedikitnya sparepart yang harus dibeli otomatis akan mengurangi overhead terkait dengan proses pembelian dan pemeliharaan sparepart tersebut. Akan tetapi pengurangan jumlah sparepart secara ekstrim bisa jadi menimbulkan cost perakitan yang lebih besar—jika terpaksa menggunakan sparepart yang dirancang secara khusus misalnya.
  • Apakah produk bisa dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi lebih mudah diproduksi dan dirakit? – Di dunia engineering ini dikenal dengan istilah “design for manufacture and assembly” (DFMA). Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah produk yang hanya bisa dibuat dan dirakit dengan cara tertentu. Sebagai ilustrasi: bayangkan bentuk catridge toner mesin photocopy yang dirancang sedemikian rupa sehingga hanya bisa dimasukan dari sisi depan saja. Bila ada sesorang yang memasukan cartridge dari sisi belakang maka cartridge tidak akan bisa masuk. Dengan mengadopsi metode ini, suatu sparepart hanya akan bisa dirakit dengan cara tertentu. Jika ada operator melakukan perakitan dengan cara yang salah maka tidak akan bisa. Hal ini bisa mengurangi potensi salah rakit. Barang yang berhasil dirakit sudah pasti terpasang dengan benar—sehingga tidak akan ada cost yang keluar karena harus membongkar barang salah rakit dan merakit ulang.
  • Adakah sparepart atau komponen produk yang bisa diganti dengan komponen yang harganya (atau harga raw materialnya) lebih murah? – Khusunya di wilayah sector industri yang berbasis teknologi (eletronik misalnya), hal ini sangat mungkin untuk dilakukan, karena nyaris tiap bulan atau tahun selalu ada supplier yang berhasil memproduksi komponen substitusi dengan harga yang lebih murah—tanpa menurunkan kualitas. Tetapi perlu diwaspadai bahwa, penggantian suatu komponen sangat mungkin memerlukan penggantian komponen lain yang berhubungan—yang bisa jadi justru membuat cost jadi meningkat.
  • Adakah langkah proses produksi yang bisa dikombinasikan? – Jika ada, maka sangat mungkin 2 langkah yang bisa dikombinasikan sesungguhnya bisa dikerjakan oleh satu orang operator saja di satu lokasi secara bersamaan. Hal ini tentu saja bisa mengurangi labor cost, sekaligus mengurangi konsumsi waktu pemindahan barang dari seorang operator di suatu lokasi ke operator lain di lokasi lainnya.
Pendekatan lain yang bisa diterapkan selama proses value engineering (akan tetapi sering tidak terpikirkan oleh para cost accountant) adalah:
Melibatkan supplier-supplier utama/besar dalam usaha menurukan cost. Mengapa pendekatan ini bagus? Karena sangat mungkin justru supplierlah yang lebih tahu mengenai alternative cara untuk memperlakukan suatu sparepart—karena mereka lebih memahami karakter sparepart yang mereka jual. Lain daraipada itu, mungkin supplier bisa membuat komponen yang mereka rancang secara khusus guna memenuhi kebutuhan yang diharapkan—dengan cost yang lebih rendah—sehingga perusahaan juga bisa membeli dengan harga yang lebih murah.
Meskipun target margin dan target cost tidak membutuhkan langkah value engineering secara penuh, ada baiknya perusahaan menjalankan proses value engineering secara penuh. Mengapa? Sebab proses value engineering secara penuh sering menghasilkan penurunan harga yang lebih banyak—sehingga produk menjadi memiliki daya saing yang lebih tinggi lagi di pasaran, atau perusahaan memperoleh profit margin yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditargetkan.
Sulit? Tidak mudah memang. Tetapi bisa dilakukan bila ada skill dan kemauan yang cukup. Target costing hanya berhasil diterapkan jika cost accountant terus-menerus melakukan pengawasan terhadap perkembangan cost yang timbul—mulai dari proses perancangan produk hingga proses produksi. Koordinasi yang efektif (sekaligus proaktif) antara bagian R&D, Accounting dan Produksi, adalah kunci utama keberhasilan dalam menerapkan metode target costing—tentu saja cost accountant (accounting) lah yang menjadi navigator utama, karena mereka yang mematok target cost dan target margin sejak di awal. Jika ada keinginan untuk mengimplementasikan target costing, silahkan dipertimbangkan.