Yang saya maksudkan dengan “selisih kelebihan pembayaran piutang dagang” dalam tulisan ini adalah: pelanggan (atau pembeli) membayar lebih dari tagihan yang kita kirimkan. Misalnya: PT. JAK memiliki piutang dagang (tagihan) sebesar Rp 4,500,000 kepada PT. ABC, tetapi entah mengapa PT. ABC membayar Rp 5,000,000, sehingga terjadi selisih kelebihan pembayaran piutang dagang sebesar Rp 500,000. Bagimana menjurnal selisih kelebihan pembayaran piutang dagang tersebut?
Ini model transaksi pembayaran piutang dagang yang mestinya jarang terjadi, tetapi pada kenyataannya di lapangan, rupanya banyak terjadi. Hal itu bisa saya lihat dari seringnya muncul pertanyaan yang sama—sejak tahun 2005 dan terus berulang hingga saat ini.
Yang sedikit mengagetkan saya adalah, adanya pendapat yang dengan serta-merta mengatakan bahwa:
“Selisih pembayaran yang diterima dicatat sebagai Pendapatan Lain-Lain.”
Misalnya: Seperti contoh di awal tulisan, mereka yang berpendapat demikian menyarankan agar selisih yang Rp 500,000 tersebut diakui sebagai “Pendapatan Lain-Lain” sehingga jurnal atas penerimaan pembayaran tersebut menjadi:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp 4,500,000
[Kredit]. Pendapatan Lain-lain = Rp 500,000
Apakah jurnal itu benar? Lebih spesifiknya: apakah selisih kelebihan pembayaran piutang dagang boleh diakui sebagai pendapatan lain-lain?
Sayang sekali, tidak ada standar akuntansi yang secara ekplisit menyebutkan apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh diakui sebagai pendapatan. PSAK 23 misalnya, hanya menyebutkan:
“Pendapatan adalah arus masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas selama suatu periode jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal.”
IAS 18 juga menyebutkan hal yang serupa (“Revenue is income that a company receives from its normal business activities, usually from the sale of goods and services to customers.”)
Dari kedua definisi tersebut, mari kita uji apakah selisih pembayaran piutang dagang memenuhi kriteria pendapatan atau tidak:
- Pengujian-1. “Arus masuk bruto” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut adalah arus masuk bruto? IYA.
- Pengujian-2. “Dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal entitas” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut timbul dari aktivitas normal entitas (perusahaan)? TIDAK, melainkan timbul dari aktivitas tidak normal yaitu kesalahan pembayaran oleh pelanggan.
- Pengujian-3. “Jika arus masuk tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas” – Apakah selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut mengakibatkan kenaikan ekuitas (modal)? IYA untuk sementara—jika diakui sebagai pendapatan.
Di pengujian pertama lolos. Di pengujian kedua tidak lolos, tetapi karena tidak berasal dari aktivitas normal entitas, maka SEPERTINYA bisa dimasukan ke dalam kelompok “Pendapatan Lain-Lain,” mungkin (ini baru mungkin lho.) Di pengujian ketiga, tidak lolos karena kenaikan ekuitas terjadi masih bersifat sementara (sampai kelebihan tersebut dikembalikan ke pelanggan).
Dari ketiga pengujian di atas, terus-terang saja, saya tidak bisa menarik kesimpulan apapun. Mereka yang membuat PSAK 23 mungkin tahu persis apa yang bisa disebut dengan “aktivitas entitas normal” dan apa yang tidak, tetapi sayang sekali tidak secara ekplisit menyebutkan apakah selisih kelebihan pembayaran piutang bisa dianggap sebagai arus bruto dari aktivitas normal atau tidak.
Dalam praktek akuntansi sehari-hari, pendapatan yang tidak berasal dari aktivitas normal biasanya diakui sebagai “Pendapatan Lain-lain,” IYA. Namun sejauh yang pernah saya lihat (dan ini dibolehkan oleh Ditjend Pajak), yang diakui sebagai pendapatan lain-lain adalah:
- Pendapatan Atas Bunga Jasa Giro (bunga yang diperoleh dari bank atas rekening giro)
- Penjualan aktiva Tetap
- Pendapatan Jasa pada perusahaan non-jasa
- Pendapatan Komisi pada perusahaan non-agen
- Penjualan barang pada perusahan non-dagang.
Sekalilagi, dari standar akuntansi saya tidak menemukan jawaban yang gamblang apakah selisih kelebihan pembayaran piutang dagang boleh atau tidak boleh diakui sebagai pedapatan lain-lain. Bisa dibilang BUNTU. Tidak ada simpulan yang pasti. Mungkin itu sebabnya mengapa sampai saat ini kasus tersebut masih saja menjadi bahan pertanyaan—setidaknya bagi sebagian orang accounting.
Melalui tulisan ini, ijinkan saya mengemukakan pendapat pribadi (di luar standar-standar yang ada)—yang tentu saja tidak harus anda setujui atau ikuti.
Saya memandang persoalan ini dengan menggunakan pendekatan yang agak berbeda, yaitu: dari aspek “hak” dan “kewajiban.” Dan, saya punya dasar pertimbangan—yang menurut saya cukup kuat—mengapa saya menggunakan pendekatan hak-dan-kewajiban (silahkan sampaikan pendapatnya jika anda pikir argument saya tidak cukup kuat atau bahkan keliru.)
Apa dasar pertimbangannya?
Setiap transaksi dagang (baik yang komoditinya berupa produk maupun jasa,) pada dasarnya adalah proses pertukaran “hak” dan “kewajiban” atas sesuatu yang dipertukarkan (diperjualbelikan).
Misalnya:
Anda pedagang komputer. Suatu ketika ada penjualan satu unit komputer kepada pelanggan A. Sebelum komputer diserahkan, “hak” kepemilikan atas komputer tersebut ada pada anda. Begitu komputer tersebut diserahkan (atau dikirimkan) kepada pelanggan A, maka hak kepemilikan atas komputer tersebut berpindah dari tangan anda ke tangan pelanggan A. Sebagai imbal-balik atas penyerahan hak kepemilikan komputer tersebut anda “berhak” untuk menerima kas—bila penjualan tunai, atau piutang (alias tagihan) bila penjualan kredit.
Inilah yang menjadi dasar pertimbangan mengapa pengakuan pendapatan (revenue recognition) hanya boleh dilakukan bila pendapatan:
(a) sudah terbentuk secara sempurna; dan
(b) dapat diukur dengan akurat
Kapan suatu pendapatan dikatakan terbentuk secara sempurna? Pada saat hak kepemilikan atas komoditi (barang/jasa) yang diperdagangkan berpindah dari penjual ke pembeli (bukan pada saat pembayaran.)
Dengan menggunakan pendekatan ‘hak-dan-kewajiban’ ini, saya melihat: “pendapatan”—apapun jenisnya—adalah “hak” (earned) sebagai imbal-balik atas barang/jasa/pemberian value-added yang diserahkan kepada pihak pelanggan atau pembeli.
Nah pertanyaannya: Apakah selisih lebih pembayaran piutang dagang yang diterima bisa disebut sebagai “hak”?
Jelas, TIDAK. Justru malah “kewajiban”—yang suatu saat nanti harus dikembalikan kepada yang punya hak, yaitu pelanggan. Sehingga akan menjadi lebih masuk akal bila diakui sebagai “utang.”
Oleh karena itu jurnal yang lebih masuk akal (menurut saya) adalah:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp 4,500,000
[Kredit]. Utang Lain-lain – PT. ABC = Rp 500,000
Pada saat kelebihan pembayaran itu dikembalikan jurnalnya:
[Debit]. Utang Lain-lain – PT. ABC = Rp 500.000
[Kredit]. Kas = Rp 500,000
Pengakuan atas selisih kelebihan pembayaran piutang dagang sebagai “utang” juga lebih memenuhi prinsip kehati-hatian (conservatism principle) yang pada dasarnya memandatkan agar: “Akativa tidak lebih diakui (overstated), dan kewajiban tidak kurang diakui (understated).”
Alternative lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengkonpensasikan selisih kelebihan pembayaran tersebut ke pembelian berikutnya (jika pelanggan setuju). Jika alternative ini yang dilakukan maka selisih pembayaran tersebut diakui sebagai “Piutang” bernilai negative, sehingga jurnal atas pembayaran tersebut menjadi:
[Debit]. Kas = Rp 5,000,000
[Debit]. Piutang Dagang – PT. ABC = Rp (500,000)
[Kredit]. Piutang = Rp 4,500,000
Dengan pengakuan piutang bernilai negative ini, maka saldo buku besar piutang terhadap PT. ABC, untuk sementara, akan bersaldo negative sebesar selisih pembayaran tersebut, yaitu Rp 500,000. Pada saat ada penjualan kepada PT. ABC lagi, di masa yang akan datang, maka otomatis saldo piutang dagang kepada PT. ABC menjadi berkurang sebesar Rp 500,000 (artinya terkompensasi)
“Bagimana jika selisih kelebihan pembayaran piutang tersebut tidak dikembalikan?” Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Saya tidak menemukan alasan mengapa perusahaan ingin memiliki sesuatu yang bukan hak-nya.
“Masalahnya, yang punya uang sudah meninggal atau perusahaannya sudah tidak ada lagi.”
Kalau memang demikian adanya, kembalikan kepada ahli warisnya, atau pemiliknya (jika perusahaannya sudah bangkrut). Bagaimana jika yang berhak tidak bisa ditemukan? Bayarkan kepada panti asuhan atau siapa saja yang dianggap kurang mampu.
Atau, jika merasa nyaman menyimpan selisih kelebihan pembayaran piutang dagang tersebut, silahkan diakui sebagai pendapatan. Pada titik ini, secara teknis bisa dibilang kondisinya sudah sempurna untuk diakui sebagai pendapatan, monggo. Sekalilagi jika merasa nyaman.